Share This
Get in Touch
BALAI VETERINER BUKITTINGGI
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
//Investigasi Outbreak Ofthalmomiasis pada Sapi di Indragiri Hulu Provinsi Riau Tahun 2022

Investigasi Outbreak Ofthalmomiasis pada Sapi di Indragiri Hulu Provinsi Riau Tahun 2022

Tags :

Katamtama Anindita1, Khoirul Anam2, Dwi Inarsih1, Budi Santosa1

Intisari

 

Terjadi wabah mata bernanah pada sapi di Desa Air Putih Kecamatan Lubuk Batu Jaya Kabupaten Indragiri Hulu. Konfirmasi wabah dilaporkan langsung dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu bahwa terjadi outbreak sakit diikuti kematian pada sapi yang dipelihara di lahan sawit. Sakit ditandai dengan gejala klinis lesi pada mata, seperti konjungtivitis, lakrimasi hingga oftalmopati. Pada tanggal 26–28 November 2022 dilakukan kegiatan investigasi oleh tim Balai Veteriner Bukittinggi bersama Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu. Tujuan Investigasi adalah mengetahui penyebab outbreak, mengidentifikasi sumber penularan wabah dan populasi hewan berisiko, melakukan pengambilan dan pengujian sampel, menggambarkan karakteristik epidemiologi outbreak (memberikan gambaran kejadian penyakit berdasarkan pola waktu, tempat dan hewan, serta mengidentifikasi kemungkinan sumber rute infeksi yang berperan dalam penyebaran penyakit. Metode kajian yang dilakukan adalah dengan diskriptif komparatif. Dari investigasi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa wabah yang terjadi adalah miasis pada mata atau lebih dikenal dengan istilah Ofthalmomiasis dengan tingkat morbiditas 22,4%, tingkat mortalitas 32,7%, dan Case Fatality Rate (CFR) 68,5%. Wabah terjadi pada sapi Bali dalam satu paparan di satu tempat dengan gambaran kurva epidemiknya adalah poin source epidemik. Sumber penularan penyakit berasal dari vektor lalat. Kondisi outbreak diperparah dengan adanya kasus Jembrana Disease di daerah ini. Rekomendasi yang diberikan adalah pengobatan menyeluruh pada sapi yang terindikasi Ofthalmomiasis dengan pengobatan sistemik dan lokal dengan anti bakterial dan anti  parasit, pengendalian vektor lalat, meningkatkan sanitasi dan biosekuriti, melakukan kajian lebih mendalam untuk menentukan penyebab awal apakah bakterial, viral, parasit dengan mengambil sampel biopsi kemudian dilakukan pengujian histopatologi, serta dilakukannya vaksinasi Jembrana desease dan KIE.

Kata Kunci: Indragiri Hulu, Mata berbabah, Ofthalmomiasis, Sapi

 

Pendahuluan

Latar Belakang

Telah terjadi Wabah Mata bernanah pada sapi yang dilaporkan melalui iSIKHNAS oleh petugas kesehatan hewan Kabupaten Indragiri Hulu. Lokasi wabah dilaporkan terjadi di Desa Air Putih, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu. Sapi terdampak yang dilaporkan adalah sebanyak 20 ekor dengan  deferensial diagnosa konjungtivitis.

Konfirmasi wabah langsung dilaporkan dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu bahwa terjadi outbreak sakit diikuti kematian pada sapi yang dipelihara di lahan sawit. Sakit ditandai dengan gejala klinis lesi pada mata, berupa konjungtivitis, lakrimasi hingga oftalmopati. Laporan outbreak kemudian direspon oleh Balai Veteriner Bukittinggi. Pada tanggal 26 – 28 November 2022 dilakukan kegiatan investigasi oleh tim Balai Veteriner Bukittinggi bersama Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu.

 

Tujuan

Tujuan kegiatan ini adalah untuk:

  1. Mengetahui penyebab outbreak pada sapi di kabupaten Indragiri Hulu
  2. Mengidentifikasi sumber penularan wabah dan populasi hewan berisiko
  3. Melakukan pengambilan dan pengujian sampel
  4. Menggambarkan karakteristik epidemiologi outbreak (memberikan gambaran kejadian penyakit berdasarkan pola waktu, tempat dan hewan).
  5. Mengidentifikasi kemungkinan sumber rute infeksi yang berperan dalam penyebaran penyakit.

 

Materi dan Metode

Kajian diskriptif komparatif dilakukan pada sapi yang sakit di Desa Air Putih, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu pada periode waktu November–Desember 2022. Kajian ini dilakukan dengan menghitung dan membandingkan hasil morbiditas dan mortalitas di antara kelompok hewan sakit dan sehat. Data yang diperoleh kemudian dipaparkan secara deskriptif.

Definisi kasus yang ditetapkan adalah sapi sakit dengan tanda klinis lesi abnormalitas pada mata dan sekitarnya di  Desa Air Putih, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada bulan November–Desember 2022. Lesi abnormalitas pada mata dan sekitarnya yang dimaksud antara lain keropeng sekitar medial kontus, lacrimal caruncle, nodul bagian kelopak mata bagian luar, lakrimasi, keratokonjungtivitis maupun oftalmopati  (rusak/hilangnya struktur mata). Lesi pada mata bisa unilateral maupun bilateral. Unit epidemiologi yang ditetapkan  adalah individu ternak.

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Setelah dilakukan wawancara dengan peternak diketahui bahwa total populasi sapi mencapai 107 ekor,  umumnya menyerang sapi Bali dan ada beberapa peranakan Ongol. Diketahui jumlah sapi sakit (kategori kasus) mencapai 35 ekor. Waktu kejadian diperkirakan pada bulan November 2022. Lokasi kejadian ditemukan di tengah perkebunan sawit yang jauh dari pemukiman penduduk yang secara administratif masuk ke Desa Air Putih, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kecamatan Indra Giri Hulu, Provinsi Riau. Setelah tim turun pada tanggal 6 januari 2023, dilaporkan 24 ekor di antaranya berakhir dengan kematian. Pada saat kunjungan tim investigasi, dilakukan pemeriksaaan klinis terhadap sapi sakit dan sapi sehat sebagai kontrol. Pada tabel berikut ini disampaikan rekap hasil pemeriksaan saat investigasi.

Sebagai pembanding, terhadap sapi sehat dilakukan pengamatan sebagai kontrol sebanyak lebih 13 ekor milik peternak W yang tidak terdapat  lesi sama sekali. Saat pengamatan lapangan, ditemukan koloni lalat pada sudut bilik mata. Peternak telah berusaha melakukan pengendalian koloni lalat menggunakan insektisida tetapi belum berhasil.

Pemeriksaan klinis yang dilakukan adalah memeriksa lesi sekitar mata pada hewan kasus dan membandingkan hewan sehat sebagai kontrol. Hasil pemeriksaan dan  pengamatan ternak disajikan pada Gambar 1. Selain dilakukan wawancara dan pengamatan klinis, tim investigasi juga mengoleksi sampel untuk dilakukan pengujian di Laboratorium BVet Bukittinggi.

Pembahasan

Kasus Ofthalmomisis pada kegiatan investigasi ini memiliki angka kesakitan (morbiditas) yang terjadi mencapai 35/107 atau 32,7 % dan angka kematian (mortalitas) mencapai 24/107 atau 22,4 %. Dari angka kejadian tersebut bisa ditentukan angka keganasan penyakit (Case Fatality Rate /CFR) yaitu 22,4/32,7 atau 68,5%. Angka CFR ini cukup tinggi berarti setiap seratus ekor yang sakit, 68 ekor di antaranya berpotensi berakhir dengan kematian.

Kasus yang terlaporkan pada periode waktu tahun 2022 hingga 2023 hanya satu titik wabah di satu tempat di Kabupaten Indra Giri Hulu. Hal ini berarti bahwa wabah terebut tidak menyebar ke daerah lain. Jika dibuat kurva epidemik maka akan berbentuk poin source epidemic yaitu tipe epidemi yang disebabkan oleh paparan singkat terhadap sumber yang sama dari agen infeksius atau racun. Semua individu yang terkena dampaknya terpapar dalam waktu yang relatif singkat, dan  kasus penyakit cenderung muncul dalam periode waktu yang terbatas. (Rothman, et al., 2008).

Derajat lesi yang ditemukan berbeda–beda yaittu berupa akrimasi, keropeng sekitar mata, granulomatosa pada kolopak mata, konjungtivitis bahkan oftalmopati (Tabel 1). Dari 13 sapi yang diperiksa, semua sapi mengalami keropeng di sekitar mata dan lakrimasi, baik secara unilateral maupun bilateral. Terdapat 8 sapi mengalami konjungtivitis, 6 sapi mengalami granulomatosa dan 5 sapi mengalami oftalmopati. Sselain terlihat lakrimasi juga terdapat granulomatosa pada bagian medial kontus dan nodul pada lakrimal caruncle (Gambar 2). Lakrimasi pada mata sapi disebabkan pembengkakan atau munculnya benjolan di sekitar saluran air mata, dan biasa disebut nodul lakrimasi. Kondisi ini sering kali merupakan gejala dari suatu infeksi atau iritasi mata. Beberapa penyebab umum dari kondisi ini termasuk penyebab nodul lacrimasi pada mata sapi infeksi parasit mata (Thelaziosis).

Penyebab umum nodul lacrimasi pada sapi adalah infeksi parasit oleh Thelazia, sejenis cacing mata yang disebarkan oleh lalat (termasuk Stomoxys). Parasit ini hidup di saluran air mata dan menyebabkan iritasi, peradangan, serta produksi air mata yang berlebihan (Otranto, & Traversa , 2005). Selanjutnya dapat disebabkan oleh keratokonjungtivitis infeksius (Pink Eye). Infeksi bakteri seperti Moraxella bovis dapat menyebabkan keratokonjungtivitis pada sapi. Kondisi ini biasanya ditandai dengan iritasi mata, kemerahan, pembengkakan, air mata berlebihan, dan bisa disertai pembentukan nodul atau ulserasi pada permukaan mata. Reaksi Alergi atau Iritasi Lingkungan juga dapat menyebabkan nodul lacrimasi. Selain itu, faktor lingkungan seperti debu, polusi, atau benda asing dapat menyebabkan iritasi kronis pada mata, yang bisa mengarah pada pembengkakan kelenjar air mata dan munculnya nodul lacrimasi. Peradangan pada konjungtiva yang berasal dari bagian luar mata yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, bakteri, atau iritasi fisik serta trauma fisik dimana cedera mata akibat benda asing, goresan, atau gigitan serangga juga dapat menyebabkan peradangan lokal dan munculnya nodul lacrimasi (Alley, et al., 2001).

Lesi yang ditemukan bervariasi, dari yang ringan sampai berat ini kemungkinan mengindikasikan outbreak berjalan seiring dengan jangka waktu tertentu dan bukan dari satu paparan. Penulis menduga kejadian outbreak terjadi karena adanya infeksi dan menular. Menurut Hendrian 2019, penyakit lakrimal pada manusia akibat infeksi di antaranya adalah dakriosistitis, dakrioadenitis, hordeolum, dan kalazion.

Dakriadonitis adalah peradangan pada kelenjar lakrimal yang merupakan penyakit yang jarang ditemukan dan dapat bersifat unilateral atau bilateral. Dakrioadenitis adalah suatu proses inflamasi pada kelenjar air mata pars sekretorik. Dakrioadenitis terbagi menjadi akut dan kronik, yang keduanya dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi ataupun dari penyakit sistemik lainnya. Pada manusia, penyebab utama adalah karena agen infeksius yang disebabkan oleh virus Parotitis, Herpes zoster, virus ECHO dan virus Stiomegalo. Selain itu juga oleh inveksi bakteri seperti Stapylococcus aureous, Streptococcus, Gonococcus, dan Retrograde conjungtivitis. Infeksi jamur Histoplasmosis, Actinomises, Blastomicosis, Nokardiosis, Sporotrikosis, Sarkoid dan Idiophati. Penyakit Hodgkin, Tubercullosis, Mononucleosis infeksiosa, Leukemia limfatik, dan limfosarkoma. (Hendrian, 2019)

Bentuk keratokonjungtivitis (Pink Eye) sapi menular adalah penyakit yang terutama menyerang kornea yang ditandai dengan epifora, lakrimasi, blefarospasme, dan fotofobia. Kondisi ini dapat berkembang menjadi edema kornea dan jika tidak ditangani, dapat menyebabkan ulserasi dengan kedalaman dan diameter yang bervariasi. Trauma, baik fisik maupun kimia, dapat menimbulkan tanda-tanda klinis yang mirip dengan keratokonjungtivitis. Patogen lain telah terlibat dan dapat menyebabkan tanda-tanda klinis yang tidak dapat dibedakan dari keratokonjungtivitis. Konjungtivitis dengan tingkat keparahan yang bervariasi terkadang terlihat (Anderson, D,  2010). Pada gambar 2 mulai terlihat luka terbuka pada bagian medial kontus yang tadinya terdapat lesi granulomatosa. Luka terbuka pada granuloma di bagian medial kontus pada sapi bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain infeksi yang membusuk (Radostits, et al, 2007). Peradangan kronis dan nekrosis juga menyebabkan proses peradangan kronis (Kumar, 2017).

Hewan ternak dalam mengatasi rasa gatal juga berusaha untuk menggaruk sehingga menyebabkan trauma terbuka (smith, 2014). Infeksi bakteri oportunis dan superinfeksi pada granulomatosa juga bisa menyebabkan luka terbuka (Gyles, et al 2010). Respon imun yang berlebihan dan kondisi lingkungan yang buruk dapat menyebabkan infeksi sekunder yang memicu luka terbuka (Tyzard, 2017,  Blood, 2000).

Koloni lalat yang mengerumuni luka terbuka dapat dilihat pada gambar 3. Menurut Hall dan Wall (1995), pada awalnya lalat tertarik pada luka terbuka, cairan berbau busuk atau bahkan luka sekecil ukuran gigitan kutu cukup untuk menarik lalat meletakkan telurnya. Jika diperhatikan daftar lesi pada tabel 1, semua mengalami keropeng pada sudut bilik mata. Keropeng itulah yang kemudian menjadi daya tarik lalat untuk meletakkan telurnya. Area sudut bilik mata (medial contus) merupakan area yang berdekatan dengan kelenjar air mata (Lacrimal caruncle).

Koloni lalat yang sangat banyak menyerang ternak dapat menyebabkan gerakan defensif pada kepala, telinga, kulit, kaki, dan ekor, serta perilaku melarikan diri atau bersembunyi (bersembunyi di hutan atau jauh di dalam air, berkumpul berdekatan untuk saling melindungi dan lain-lain). Dengan demikian, gangguan serangga ini menyebabkan hilangnya energi, berkurangnya waktu yang dihabiskan untuk makan dan total asupan pakan, serta terjadi stres. Tindakan fisik dari bagian mulut lalat dan tindakan kimia dari air liur menciptakan rasa sakit lokal di tempat gigitan yang merupakan sumber stres bagi hewan. Hal ini juga merupakan asal mula infeksi kulit lokal atau infeksi sekunder dalam kasus miasis. Selain itu, tindakan kimia dan imunogenik dari air liur memiliki toksisitas umum dan menciptakan respons imun umum yang berkontribusi terhadap stres dan imunosupresi (Baldacchino, et. al., 2013). Semua kasus mengalami lakrimasi, ada yang unilateral dan ada yang bilateral. Hal ini juga memungkinkan air mata menjadi daya tarik lalat sebagaimana yang disampaikan Ishak, (2018),  bahwa lalat  memakan darah, keringat, air mata, air liur, dan cairan tubuh lainnya. 

Outbreak ini terjadi pada hutan sawit sehingga kondisi sapi yang terinfeksi semakin parah karena tidak ada pengobatan yang memadai. Pada gambar 4, terlihat nekrosis kaseosa pada kelopak mata bagian atas. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi sudah kronis. Nekrosis kaseosa terjadi antara lain disebabkan aksi bakteri Mycobacterium dan Corynobacterium (Quinn, 2010).

Lesi di mata umumnya tidak berhubungan langsung dengan kejadian sesak nafas dan temuan purulenta seperti gambar 5. Tetapi infeksi pada area mata sangat parah, terutama di sekitar lakrimal caruncle atau bagian medial kontus, bisa meluas ke rongga sinus atau struktur terkait. Pada sapi, sistem drainase air mata dan sinus terhubung, dan infeksi yang menyebar dari mata dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis dapat menyebabkan sesak napas dan keluarnya cairan purulen dari hidung (Smith, 2014).

Keparahan yang sangat akan melanjut menjadi oftalmopati, yaitu istilah yang merujuk pada berbagai penyakit atau gangguan yang mempengaruhi struktur mata termasuk konjungtiva, kornea, retina, dan jaringan di sekitarnya seperti gambar 6. Oftalmopati dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, infeksi bakteri, peradangan, trauma, penyakit sistemik (Smith, 2014).

 Lesi pada mata yang disebabkan oleh infeksi atau trauma dapat menjadi pintu masuk bagi lalat untuk bertelur yang kemudian menyebabkan miasis. Misalnya, jika terdapat luka pada kelopak mata atau konjungtiva, lalat bisa bertelur di situ yang kemudian mengarah pada invasi larva. Jika miasis tidak teratasi, kerusakan jaringan yang disebabkan oleh larva dapat menyebabkan penyakit. Peradangan yang berkepanjangan dan nekrosis dapat mempengaruhi berbagai struktur mata dan menyebabkan komplikasi serius seperti abses orbital atau infeksi lebih lanjut. Keduanya dapat menyebabkan gejala sistemik, seperti demam, depresi, dan kesulitan bernapas, terutama jika infeksi menyebar ke sistem tubuh lainnya. (Radostits, 2007). Pada gambar 7, setelah dilakukan pemeriksaan lebih teliti, sapi yang oftalmopati mengalami investasi larva lalat (miasis/Ofthalmomiasis).

Patogenesis miasis pada manusia dan hewan sama. Lalat meletakkan telurnya pada luka terbuka kemudian menetas dan terjadilah miasis. Pada wabah ini semua hewan sakit terdapat lakrimasi dan luka terbuka. Berarti tentu ada agen pemicu yang menyebabkan lakrimasi atau luka pada sudut mata sehingga lalat meletakkaan telurnya di area tersebut. Agen penyebab sakit bisa dari bacterial, viral, maupun parasit. (Baker, 2015).

Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan larva lalat yang dikoleksi adalah chryzomia bezziana. (Tabel 2). Wabah yang disebabkan Ofthalmomiasis diperparah dengan kondisi hewan yang tidak baik. Hasil laboratorium menunjukkan 1 ekor positif Jembrana Disease dari 5 sampel yang diperiksa. Dari gambaran hasil laboratorium, sapi di peternakan tersebut juga pernah terinfeksi PMK (hasil seropositif elisa PMK NSP), meskipun pernah di vaksin PMK (hasil seropositif elisa PMK SP). Pada pemeriksaan klinis ditemukan larva lalat seperti pada gambar 8, dengan ukuran panjang larva 5385,48 μm. Larva miasis yang ditemukan adalah larva Chrysomya bezziana yang dikenal sebagai lalat screw-worm dari Famili Calliphoridae. Chrysomya bezziana adalah salah satu penyebab utama miasis obligat pada hewan dan manusia di wilayah tropis dan subtropis. Lalat tersebut biasanya menyerang jaringan hidup termasuk jaringan lunak di mata (Spradbery, 1991, Zumpt, 1965).

Beberapa karakteristik yang mendukung kemungkinan tersebut menurut Robinson, et al., (1999) adalah:

  1. Morfologi larva: Larva Chrysomya bezziana umumnya memiliki tubuh yang relatif besar dengan duri-duri pada permukaan tubuh, serta spirakel posterior yang khas yang bisa diidentifikasi dengan jelas pada stadium lanjut.
  2. Ukuran larva: Panjang total larva yang Anda sebutkan (sekitar 5385,48 μm atau 5,4 mm) sesuai dengan ukuran larva stadium lanjut C. bezziana, yang bisa mencapai sekitar 8-10 mm pada stadium akhir, bergantung pada kondisi lingkungan dan waktu infestasi.
  3. Lokasi miasis: Chrysomya bezziana sering terlibat dalam miasis di daerah tropis dan subtropis, dan infeksi mata (Ofthalmomiasis) merupakan salah satu lokasi umum yang dapat terkena akibat lalat ini, terutama jika larva tumbuh dalam jaringan hidup.

Tempat yang terisolir di tengah hutan  tiba – tiba muncul wabah di daerah tersebut, kemungkinan adanya sapi yang sudah terinfeksi masuk ke daerah tersebut, kemudian terjadi penularan ke ternak yang lain. Faktor lain yang mungkin menyebabkan wabah adalah Hutan menyediakan habitat yang ideal untuk reproduksi lalat, seperti adanya limbah hewan, tanaman yang membusuk, atau bahkan luka terbuka pada hewan yang dapat menarik perhatian lalat. Ada kemungkinan bahwa hewan lain di sekitarnya, baik domestik maupun liar, membawa larva atau infeksi tersebut. Jika ada hewan liar yang terinfeksi, mereka dapat menjadi sumber infestasi di area tersebut. Kegiatan manusia, seperti pemotongan hewan yang terinfeksi atau praktik peternakan yang tidak higienis, dapat berkontribusi pada penyebaran lalat penyebab miasis ke sapi yang sehat. Musim hujan atau kondisi cuaca tertentu dapat meningkatkan jumlah lalat dan memperburuk infeksi. Jika populasi lalat meningkat, maka risiko paparan pada sapi juga akan meningkat. (Francesconi, F., & Lupi, O, 2012).

Lalat Chrysomya bezziana dapat terbang sejauh 5 hingga 10 kilometer dari sumber pakan atau tempat reproduksi. Dalam kondisi ideal, seperti adanya angin yang menguntungkan atau cuaca yang baik, lalat ini dapat terbang lebih jauh, tetapi umumnya jarak ini dianggap sebagai batas normal untuk pencarian makanan dan tempat bertelur. Daya terbang lalat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk suhu, kelembaban, dan adanya sumber makanan. Jika lingkungan mendukung, mereka dapat melakukan perjalanan lebih jauh untuk mencari pakan atau lokasi bertelur. Perubahan cuaca, seperti hujan atau angin kencang, juga dapat mempengaruhi kemampuan terbang dan dispersinya. Lalat lebih cenderung menjelajahi area yang lebih luas jika mereka menemukan tempat yang sesuai untuk bertelur dan sumber makanan yang melimpah, seperti limbah organik atau sisa-sisa hewan. (Mann, & Leathwick, 2006, Noyes, et al, 1998).

Penanganan nodul lacrimasi tergantung pada penyebabnya, Infeksi parasit maka penggunaan obat antiparasit seperti ivermectin efektif untuk mengatasi infeksi Thelazia. Infeksi bakteri maka pembeian antibiotik, baik berupa tetes mata atau suntikan, digunakan untuk mengatasi keratokonjungtivitis infeksius. Iritasi dan trauma maka dilakukan berupa penanganan luka mata dan perlindungan dari debu atau serangga juga dapat membantu pemulihan. (Anderson, et al., 2010).

Penanganan kasus Ofthalmomiasis pada sapi yang dilakukan pertama adalah dengan mengeluarkan larva miasis secara manual. Selanjutnya lakukan irigasi dengan saline steril untuk membersihkan larva / telur yang tertinggal. Selanjutnya diberi Antiparasit misalnya ivermectin secara lokal, antibiotik tipikal juga diberikan misalnya tetes atau salep mata. Pengendalian lingkungan untuk memutus wabah dilakukan dengan meningkatkan sanitasi, penggunaan insektisida secara berkala, serta melakukan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) pada peternak. (Hall & Wall, 1995).

Pergerakan ternak yang terus terjadi melalui lalu lintas dan pengadaan ternak di berbagai wilayah di Indonesia akan memacu tersebarnya penyakit yang lebih luas. Hal ini sesuai yang disampaikan Wardana, (2006), bahwa adanya kesepakatan pasar bebas membuka peluang masuknya penyakit-penyakit ternak dari luar ke dalam negeri atau sebaliknya, termasuk miasis. yang semula bebas serangan miasis menjadi wabah, karena masuknya ternak penderita miasis ke daerah tersebut .

 

Kesimpulan

Dari investigasi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa

  1. Kesimpulan diagnosa wabah terjadi karena miasis pada mata atau lebih dikenal dengan istilah  Ofthalmomiasis.
  2. Tingkat morbiditas 22,4%, tingkat mortalitas 32,7%, Case Fatality Rate (CFR) 68,5%
  3. Wabah terjadi pada sapi bali, dalam satu paparan di satu tempat (jika digambarkan kurva epidemiknya poin source kurva)
  4. Sumber Penularan penyakit berasal dari vektor lalat.
  5. Kondisi outbreak diperparah dengan Jembrana Disease
  • 143 views
Sosial Media :
Share
Close