DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
Hasil Uji RFFIT Pada Sapi Setelah Divaksin Dengan Vaksin Rabies Komersial
Ternak yang juga ikut digigit Hewan Pembawa Rabies (HPR) termasuk tinggi di Indonesia, dan menimbulkan kerugian yang tinggi pada peternak. Pada tahun 2013, Rasdiyanah dan kawan-kawan melakukan penelitian tentang kerugian yang disebabkan oleh HPR pada sapi Bali yang digigit dan mengalami kematian. Kerugian yang ditimbulkan saat itu adalah sekitar Rp. 82.000.000,- pada tahun 2008-2011. Sebanyak 36 sapi mati karena rabies di desa Ungasan dan desa Kutuh. Di Korea Selatan, sapi memang yang paling banyak terinfeksi Rabies yaitu 46,4% dari keseluruhan kasus di Korea Selatan.
Tindakan yang dilakukan oleh negara maju adalah stamping out pada ternak yang digigit, tapi di Indonesia , selalu ada usaha untuk menyelamatkan peternak, dengan melakukan vaksinasi pada ternak tersebut tapi pengecekan titer antibodi hanya bisa dilakukan dengan uji RFFIT atau FAVN, sebagai uji netralisasi sehingga bisa dideteksi kemampuan atau kekebalan terhadap virus rabies. Hal ini berbeda dengan tulisan tahun lalu dengan sapi yang benar-benar digigit anjing, pada kasus ini adala sapi yang kontak dengan sapi positif rabies.
Hal ini bisa menjadi kesimpulan bahwa kita bisa melakukan tindakan penyelamatan pada sapi dengan melakukan penyuntikan Vaksin Rabies pada hari 0, hari ke 7 dan hari ke 21. Dan bisa dibandingkan dengan tulisan yang sama yang terjadi di Kabupaten Dharmasraya pada kasus gigitan ada yang bisa selamat dari virus rabies ada yang tidak. Pada kasus sapi di Dharmasraya pada tahun 2017, ada 2 ekor sapi yang mati dari 16 ekor sapi yang tergigit dan dua ekor kambing mati semua. Sapi yang lain masih hidup. Ada sapi dengan titer antibodi tinggi juga mati.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui titer antibodi sapi yang divaksin rabies pada sapi yang beresiko atau bersinggungan dengan sapi terinfeksi rabies. Sehingga menjadi menjawab permasalahan sapi-sapi atau ternak lain yang terinfeksi atau beresiko rabies.
Materi yang digunakan adalah melakukan vaksinasi pada seluruh sapi yang bersinggungan dengan sapi yang terinfeksi rabies pada hari ke 0, ke 7 dan ke 21. Dan dilakukan pengambilan darah pada hari tersebut. Dengan melakukan penyuntikan vitamin. Kemudian dilakukan pengujian dengan metode RFFIT (Rapid Fluorescence Focus Inhibition Test).
Menurut Tizzard tahun 1988, pada hari pertama setelah penyuntikan tidak akan ada reaksi antibodi, antibodi baru bisa ditemukan sekitar satu minggu setelah penyuntikan pertama dan kadar dalam serum kemudian meningkat mencapai puncak pada hari ke 10-14 , sebelum menurun lagi dengan cepat. Hal ini menjadi alasan dilakukan pengulangan penyuntikan lagi sehingga akan mengalami peningkatan antibodi yang signifikan pada hari ke 21. Peningkatan ini akan dihitung secara statistik. Sebelum terjadi peningkatan ada fase negatif pada tubuh hewan selama tiga hari dalam rangka mengingat keterpaparan antigen yang dibuat. Penyuntikan yang berulang secara terus menerus tidak akan menghasilkan titer yang lebih tinggi karena fase negatif yang dialami tubuh, sehingga antibodi yang terbentuk akan datar (plateau).
Peningkatan antibodi ini menjelaskan bahwa terjadi reaksi antibodi yang mampu melawan virus rabies, pada kasus ini sapi memang tidak terpapar virus rabies. Berbeda dengan kasus di Kabupaten Dharmasraya pada tahun 2017, ada sapi dengan titer antibodi tinggi akhirnya juga mati. Hal ini belum dapat dijelaskan apakah sapi sudah terlebih dahulu terpapar virus dan antibodi yang terbentuk belum mencapai daerah yang telah terlebih dahulu dicapai oleh virus Rabies.
- 1799 views